Kamis, 28 Mei 2009

Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi masih Rendah

JAKARTA -- Angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 18 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Presentase angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi) masih cukup rendah dibanding dari jumlah penduduk Indonesia'' kata Taufik Hanafi, Direktur Pendidikan dan Urusan Keagamaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa (10/3).

Rendahnya angka tersebut menurut Taufik dipengaruhi oleh angka kelulusan SLTA yang juga masih rendah.Berdasarkan Angka Kerja Menurut Pendidikan Tinggi yang Ditamatkan di Perkotaan dan Pedesaan tahun 2008 oleh Bappenas, angka tertiggi kelulusan SLTA dari tujuh regional (desa dan perkotaan) hanya mencapai 30, 28 persen dari total usia sekolah. Sedangkan angka terendah di Nusa Tenggara hanya mencapai 21,10% dan di Jakarta dan Pulau Jawa angka kelulusan SLTA hanya mencapai 28,43 persen.

''Untuk tingkat pendidikan dasar memang sudah cukup baik tapi untuk tingkat lanjut setingkat SLTP dan SLTA masih tertinggal dibanding negara lain,'' kata dia.Menurut data Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programe 2002-2005, Indonesia hanya menduduki peringkat 107 dari 170 negara. Ketiga dari bawah untuk negara ASEAN. di bawah Vietnam yang menduduki peringkat 105, Filipina (90), dan Thailand (78).Peringkat tertinggi negara ASEAN diduduki Singapura, yaitu ke- 25 dari 170 negara.

Taufik mengatakan untuk mendukung rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2008 pada lima tahun kedua (2010-2014) angka partisipasi diharapkan meningkat menjadi 25 persen.''Memang peningkatan yang diharapkan cukup tinggi. Tapi angka tersebut harus diupayakan untuk mendukung RPJPN hingga 2025 mendatang,'' kata dia. fia/ism

Sumber: Republika Online
http://republika.co.id/berita/36291/Angka_Partisipasi _Pendidikan_Tinggi_masih_Rendah
Diposkan oleh Noritha Kristiianty di 05:47 0 komentar
Label: 1.3 Pendidikan Tinggi
Membangun Universitas Riset
Membangun Universitas Riset

Para pemerhati pendidikan kini semakin menyadari bahwa perguruan tinggi (PT) di Indonesia perlu memperluas peran konvensionalnya yakni bukan sekadar sebagai lembaga pencetak tenaga ahli dan kaum terpelajar semata. PT perlu dikembangkan menjadi institusi produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, pemecah masalah atas kompleksitas persoalan sosial-kemasyarakatan, penyedia layanan publik, dan pusat pengkajian bagi kemajuan dan keunggulan bangsa. Untuk itu, membangun universitas riset bukan saja merupakan kebutuhan mendesak, melainkan juga sangat penting guna menjaga daya tahan dan keberlanjutan PT bersangkutan.

Urgensi membangun universitas riset harus diletakkan dalam konteks, paling kurang, tiga tantangan utama. Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang berlangsung sangat cepat dan dinamis. Bahkan lembaga-lembaga riset di luar PT, terutama divisi R&D yang dikelola dunia industri, acap kali menjadi pelopor bagi penemuan-penemuan baru dan inovasi teknologi mutakhir, yang menggerakkan revolusi teknologi secara spektakuler. Kedua, iptek kian menunjukkan kedigdayaannya sebagai instrumen utama penggerak pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Perkembangan ekonomi suatu negara kini tidak lagi hanya bertumpu pada pertanian dan industri manufaktur semata. Banyak negara mengalami kemajuan pesat dengan memperkuat ekonomi berbasis iptek seperti Jepang, Korsel, China, Hong Kong, dan Malaysia. Ketiga, globalisasi sudah menjadi fenomena mondial yang membawa pengaruh dahsyat pada pendidikan tinggi. Dampak paling nyata adalah interaksi antara PT asing dan PT domestik yang berlangsung makin intensif. Hal itu terwujud dalam berbagai bentuk kerja sama kelembagaan seperti professorial fellowships, pertukaran dosen, penelitian, atau penyelenggaraan kegiatan ilmiah (simposium, konferensi). Bahkan beberapa universitas asing sudah mulai merintis jalan untuk beroperasi di Indonesia dalam skema kemitraan dengan universitas di dalam negeri.

Dengan memperhatikan ketiga tantangan di atas, sebagai bangsa kita harus berikhtiar membangun universitas riset unggulan di Indonesia. Konsep universitas riset modern dilukiskan oleh Nannerl O Keohane dalam The Mission of the Research University (1994) sebagai A company of scholars engaged in discovering and sharing knowledge, with a responsibility to see that knowledge is used to improve the human condition. Misi utama yang diemban universitas riset adalah penelitian dan pengajaran, yang harus mengutamakan dua hal esensial, discovering dan sharing. Melalui penelitian akan berlangsung discovering pengetahuan, bukan sekadar acquiring, yang mengandaikan seorang ilmuwan berupaya mengerahkan segenap daya intelektualnya dalam melakukan pencarian, penjelajahan, eksperimentasi, percobaan, dan pengujian ilmiah melalui trial-and-error method. Upaya ini harus dilakukan secara tekun, konsisten, dan sistematis berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan, sehingga melahirkan suatu breakthrough yakni penemuan-penemuan baru yang memberi manfaat bagi kepentingan umat manusia.

Melalui pengajaran akan berkembang sharing pengetahuan—bukan sekadar transmitting pengetahuan—yang mengandaikan seorang sarjana dan ilmuwan bukanlah satu-satunya pemegang otoritas keilmuan di suatu komunitas akademis, melainkan salah satu simpul saja dari serangkaian mata rantai sumber ilmu pengetahuan. Dengan prinsip sharing, ilmu pengetahuan dibagi dan dialirkan ke segenap sivitas akademika melalui mekanisme shared experience. Mekanisme ini membuka peluang berlangsungnya self-criticism, self-renewal, pengujian, dan perdebatan sehingga terbangun wacana dan tercipta dialektika pemikiran yang dapat memicu discovery dan exploration. Karena itu, setiap ilmuwan harus mampu menjaga keseimbangan antara kegiatan ilmiah di ruang laboratorium dan kegiatan mengajar di ruang kelas. Penciptaan, penemuan, dan produksi ilmu pengetahuan terjadi melalui proses yang panjang, suatu sinergi antara ketekunan bereksperimen di laboratorium (termasuk riset lapangan) dan kegigihan berdialektika di ruang kuliah. Bukankah pengalaman Eureka! Archimedes (287-212 SM) karena ia melakukan dialog dan kontemplasi panjang serta 'bereksperimen kecil' dengan melompat ke bak mandi, yang menjadi sumber ilham dalam merumuskan asas hidrostatika? Dunia kemudian mencatat, hukum Archimedes tentang asas hidrostatika dalam ilmu fisika ini memberi kontribusi besar dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan modern.

Untuk membangun universitas riset dibutuhkan dukungan infrastruktur dan sumber daya (manusia dan finansial) yang memadai. Dukungan infrastruktur yang diperlukan: (i) gedung dan ruang pembelajaran, (ii) laboratorium berikut peralatan guna melakukan eksperimentasi, (iii) perpustakaan dan buku referensi untuk mengembangkan gagasan-gagasan baru, (iv) ruang kantor bagi dosen dan peneliti guna merenung dan menulis (makalah, artikel, buku), dan (v) fasilitas pendukung seperti komputer berikut jaringan internet guna mengakses aneka academic resources berupa jurnal ilmiah, monograf, laporan penelitian, atau hasil kajian. Dukungan SDM tentu sangat vital. Tenaga akademik berkualifikasi doktor/master memainkan peranan sentral. SDM bermutu untuk menjamin kualitas program akademik sehingga universitas dapat melahirkan lulusan-lulusan berkualitas di berbagai bidang keilmuan dan keahlian.

Kebijakan Ditjen Pendidikan Tinggi mengirim 2.500 dosen untuk mengambil PhD dan master ke luar negeri tentu saja bagus. Namun, kebijakan itu harus diimbangi dengan membangun pusat-pusat penelitian/laboratorium. Dengan demikian, sepulang mereka dari sekolah bisa berkiprah melalui kegiatan riset ilmiah untuk mengembangkan iptek. Tanpa dukungan pusat penelitian/laboratorium, mereka tak akan maksimal dalam menekuni kerja-kerja keilmuan bahkan bisa mengalami frustrasi karena potensi mereka tak tersalurkan semestinya. Dukungan finansial jelas sangat determinan agar universitas riset bisa beroperasi dan dapat menjalankan tiga fungsi utamanya secara maksimal yakni pengajaran, penelitian, dan pelayanan publik. Dukungan finansial juga diperlukan untuk membayar gaji dosen dan peneliti secara layak agar mereka bisa bekerja profesional. Ada ungkapan populer, If you need professional employees you should provide professional salary.

Untuk mengukur kapasitas dalam membangun universitas riset, kita perlu melihat kemampuan Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain dalam menyediakan public expenditure untuk R&D dan ketersediaan tenaga peneliti yang mendukungnya. Menurut Human Development Report 2006, antara tahun 1996 sampai 2006 kemampuan Indonesia mengeluarkan belanja publik untuk penelitian dan pengembangan hanya sebesar 0,5% dari PDB.

Sementara itu pengeluaran publik untuk keperluan serupa di Malaysia 0,7%, China 1,1%, Singapura 2,1%, dan yang paling besar Korsel 3,0% dari PDB. Dokumen HDR juga mencatat jumlah tenaga peneliti bidang R&D per satu juta penduduk di Indonesia sebanyak 130, Malaysia 160, China 548, Korsel: 2.880, dan yang paling banyak Singapura: 4.052. Memperhatikan data ini, dapat dimaklumi bila keempat negara tersebut berhasil mencapai kemajuan signifikan dalam membangun universitas riset berkelas dunia sehingga mampu bersaing pada level internasional. Menurut Times Higher Education Supplement 2007, Hong Kong, Singapura, China, dan Korsel berhasil menempatkan perguruan tinggi mereka pada peringkat 100 universitas terbaik dunia. Sekadar menyebut beberapa saja, University of Hong Kong (18), National University of Singapore (33), Beijing University (36), National Tsing Hua University (40), Seoul National University (51), dan Nanyang University of Technology (69).

Keberhasilan negara-negara Asia Timur tersebut dalam membangun pendidikan tinggi berjalan paralel dengan tingkat kemajuan ekonomi mereka. Ini semakin membuktikan betapa pencapaian kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada keberhasilan membangun pendidikan tinggi. Pengalaman ini bisa menjadi rujukan dalam upaya membangun perguruan tinggi di Indonesia, sehingga mampu bersaing pada level global. Jika bermimpi punya universitas riset berkelas dunia seperti Amerika dan Eropa dianggap terlampau tinggi, setidaknya kita dapat melakukan benchmarking dengan universitas sejenis di negara-negara tetangga di Asia Timur. Mereka telah terbukti berhasil membangun universitas riset unggulan sehingga mampu bersaing dengan universitas lain di tingkat dunia. Benchmarking sangat penting sebagai langkah awal dalam melakukan perbaikan mutu dan peningkatan kinerja perguruan tinggi di Indonesia.


Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar