Kamis, 28 Mei 2009

Islamic School Sebuah Alternatif

Tahun ajaran 2003/2004 segera berakhir. Euforia tahun ajaran baru 2004/205 sudah mulai terasa. Fenomena orang sibuk mencari sekolah akan segera dapat kita saksikan. Sekolah lanjutan yang sering membuat masyarakat sibuk dalam mencarikan sekolah untuk putra-ptrinya adalah SMP dan SMA. Pemerintah sudah mulai mensosialisasikan sistem penerimaan siswa baru untuk tahun ajaran 2004/2005. Untuk SMP tahun ini dalam penjaringan siswa baru akan didasarkan pada hasil test, sedangkan untuk masuk SMU didasarkan pada nilai UAN SMP. Beberapa sekolah sudah menabuh genderang penerimaan siswa baru. Kegiatan dengan label sosialisasi sekolah ( Open House, Pameran, Kunjungan, Press Relase ) diadakan guna mendapat apresiasi masyarakat.

Keprihatinan Madrasah

Standard kelulusan pada tahun ini ditetapkan nilai minimal untuk semua mata pelajaran yang diujikan harus 4.01. Polemik tentang standard kelulusan sempat terjadi sehingga melahirkan "kebijakan bagi siswa yang belum lulus pada ujian utama akan mendapat kesempatan mengikuti ujian ulangan khusus untuk mata pelajaran yang belum lulus". Bagi sekolah fovorite standard kelulusan 4.01 dapat memperkuat Brand Image dalam penerimaan siswa baru tahun ajaran 2004/2005, karena dengan input yang sudah baik, akan dapat dengan mudah menggapai standard tersebut. Namun bagi sekolah yang tidak favorite, UAN ( Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris) menjadi hantu baru yang akan dapat mengurangi kepercayaan masyarakat dalam menyekolahkan putra-putrinya. Kerena standard kelululusan 4.01 akan sulit digapainya. Apabila hal ini terjadi maka pada sekolah tersebut banyak siswa yang tidak lulus, akibatnya masyarakat kurang percaya pada sekolah tersebut.

Madrasah ( Tsanawiyah dan Aliyah ) yang termasuk sebagai sekolah yang tidak favorite, standard kelulusan 4.01 akan menjadi penambah keprihatinan yang selama ini dirasakan. Keprihatian Madrasah terjadi kerena di masyarakat berkembang pandangan yang keliru terhadap MTsN maupun MAN, sehinggga madrasah di DIY belum dijadikan sebagai pilihan untuk kelanjutan pendidikan bagi putra - putrinya. Mereka mengganggap bahwa MTsN dan MAN adalah hanya sekolah agama dan sekolah swasta. Masyarakat tidak mengetahui bahwa MTsN adalah sama dengan SMPN di bawah Departemen Agama sehingga muatan keagamaannya lebih banyak, oleh karena itu tentu dapat dijadikan sebagai pilihan bagi lulusan SD/MI untuk melanjutkan pendidikannya. Demikian juga MAN adalah sama dengan SMAN, yang mestinya dapat dijadikan sebagai kelanjutan SMP atau MTs. Label Negeri yang melekat pada MTsN dan MAN, tidak cukup kuat untuk menarik minat masyarakat dalam menyekolahkan putri-ptrinya bahkan kesan sebagai sekolah swasta lebih mendominasi.

Tidak dipungkiri sebagian besar Madrasah di DIY belum dapat menerapkan Managemant yang profesional. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain :

(1)Keterbatasan SDM baik kwalitas maupun kwantitas, (2)Rendahnya kedisiplinan murid, guru dan pegawai, (3)Keterbatasan sarana dan prasarana, (4) Rendahnya Input, (5) kurang dari 40% SDM Madrasah yang menguasai komputer. Kesemuanya ini akan mengakibat kan rendahnya out put dan minimnya prestasi madrasah. Padahal out put yang berprestasi akan dapat menjadi legimitasi madrasah sebagai intitusi yang layak dipercaya.

Madrasah di Persimpangan Jalan

Apabila kita menyaksikan televisi, hampir setiap stasiun menyiarkan bahkan membuat suatu paket acara khusus kriminal. Dari sana kita dapat melihat cermin buram bangsa Indonesia. Penyakit masyarakat berkembang pesat laksana wabah yang tak terkendali. Yang dahulu dibenci sekarang dicari, yang dahulu dicaci sekarang dipuji. Perjudian, prostitusi, miras, sabu-sabu dan narkoba dapat kita saksikan tanpa harus mengendap-endap seperti intel. Masyarakat seperti kehilangan arah, bingung apa yang harus dilakukan dengan anak bangsa yang sudah demikian meresahkan. Dalam kebingungan tersebut agama menjadi terasa penting sekali keberadaannya.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan memaksa orang sibuk mencari pemenuhan kebutuhan dengan segala cara. Suami dan Istri sibuk bekerja. Bapak pulang malam ibu pulang petang, Dalam keseharian anak-anak tidak sempat mendapat pengawasan apalagi pendidikan dari orang tuanya. Jika hal ini terus berlangsung maka segitiga emas pendidikan Indonesia akan kehilangan salah satu titik sudutnya yakni proses pendidikan keluarga, yang merupakan fondasi pendidikan selanjutnya.

Fenomena munculnya Sekolah Dasar Islam Terpadu ( SDIT) di tengah maraknya marger SD - SD Negeri yang kekurangan murid, menarik untuk dicermati. Keberanian menggunakan label Islam dalam penyelenggaran pendidikan ternyata mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat. Masyarakat yang sudah merasa kuatir terhadap keselamatan putri-putrinya meyakini bahwa dengan menyekolahkan anaknya pada sekolah yang berbasis agama merupakan upaya preventif untuk melindungi generasi bangsa dari ancaman penyakit masyarakat, terlebih pada pendidikan dasar yang merupakan pendidikan yang sangat fundamental. Di samping SD IT sekolah yang dengan tegas menunjukan jati diri sebagai sekolah berbasis agama ( SD/SMP/SMA Muhamadiyah ) juga mendapat kepercayaan dari masyarakat dan dapat berkembang menjadi sekolah yang favorite. Pilihan masyarakat pada sekolah dengan basis agama menguatkan keyakinan bahwa agama mampu menjadi alat untuk memperbaiki keadaan, penjaga(kontrol)terhadap penyimpangan norma, serta bekal hidup yang lebih baik

Reformasi Madrasah

Permasalahan yang senantiasa dihadapi setiap tahun ajaran baru bagi madrasah di DIY ( MTs/MA) adalah minimnya pendaftar pada gelombang pertama. Lulusan SD/MI lebih tertarik mencari SMP Negeri maupun swasta dahulu dari pada MTs walau negeri sekalipun, demikian juga lulusan SMP/MTs lebih tertarik mendaftar ke SMA/SMK dari pada MAN. Namun demkian menguatnya keyakinan bahwa sekolah berbasis agama akan dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi kelanjutan pendidikan putra-putrinya di masa sekarang harus dapat ditangkap sebagai sebuah peluang. SDIT dengan ciri khasnya sebagai Full Day School menjadi bukti nyata bahwa masyarakat semakin cerdas dalam memilih pendidikan yang aman dan nyaman bagi putra-putrinya. Fakta tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk mereformasi nama madrasah, dari MTsN menjadi SMP Islam Terpadu, dan MAN Menjadi SMA Islam Terpadu, yang dengan tegas menyatakan diri sebagai Islamic School yakni sekolah yang dalam proses pembelajarannya menggunakan gaya Islam ( Learning in Islamic Style ). Islamic School menjadi wadah dan kekuatan elemen pendidikan Islam. Masyarakat tidak perlu lagi bimbang bahwa MTsN adalah Islamic School tingkat SMP dan MAN adalah Islamic Shcool tingkat SMA, sehingga layak dijadikan alternatif yang setara dengan sekolah favoite yang mampu memberi rasa aman bagi masyarakat modern, dan menangkal dampak negatif dari globalisasi yang mengancam perilaku anak bangsa yang semakin tidak terkendali

Seiring dengan menguatnya keyakinan masyarakat bahawa pendidikan yang berbasis agama dapat memberikan rasa aman dan nyaman, maka di samping nama, management madrasah juga harus mengalami reformasi menuju management yang profesional dan modern sehingga benar-benar dapat memberi jaminan rasa aman kepada masyarakat sebagaimana mereka mendapatkannya ketika putra - putrinya memasuki SDIT. AA Gym dalam Tausyiahnya mengatakan " Jalankan reformasi dengan 3 M: Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang kecil, Mulai dari sekarang"

1. Mulai dari diri sendiri

Pejabat Departemen Agama harus memiliki Politikel Will untuk membesarkan sekolah - sekolah di bawah Departemennya. Harus ada kebijakan yang dapat menggerakan seluruh guru dan pegawai dibawah Depertemennya. Sebagai Good Willnya ketauladan dari para pejabat Departemen Agama untuk menyekolahkan putra-putrinya pada sekolah di bawah DEPAG yang selama ini masih sangat kurang, harus segera dimulai. Dalam survei penulis dari 37 Guru dan Pegawai di tempat penulis bekerja hanya 2 orang yang menyekolahkan putranya di sekolah MTsN/MAN, bahkan tidak sedikit putra-putri pegawai DEPAG yang memiliki potensi ternyata menjadi maskot bagi sekolah-sekolah yang tidak di bawah naungan DEPAG. Adalah sebuah kerugian jika hal ini masih diteruskan. " Kalau kita sendiri enggan menyekolahkan putra-putrinya( tidak percaya ) ke MTs/MAN mengapa masih berharap orang lain mau menyekolahkan ke MTsN/MAN ?"

Seluruh pegawai Departemen Agama harus memiliki tanggung jawab moral untuk membuat MTsN/MAN menjadi sekolah favorite. Sebagai guru atau pegawai DEPAG tentu akan sangat merasa membohongi diri sendiri dan berdosa ketika menerima gaji (pendapatan ) dari DEPAG sementara intitusinya ( MTsN/MAN) tidak mereka percayai sebagai lembaga yang mampu mendidik putra-putrinya. Jika dihitung jumlah seluruh pegawai di DEPAG DIY dan diwajibkan menyekolahkan putra-putrinya di MTs/MAN ( Islamic School) maka pengaruh dan syiarnya terhadap usaha membesarkan MTsN/MAN akan sangat besar. Sebagai rangsangan barangkali "Bebas Biaya Pendidikan bagi putra-putri pegawai DEPAG di MTsN/MAN" dapat dijadikan alternatif untuk membesarkan Islamic School tingkat SMP maupun SMA ( MTsN/MAN).

Para guru madrasah harus mulai mengakui kekurangannya dan mau belajar kembali. Tugas manusia sebagai pembelajar tidak harus terhenti karena sudah menjadi guru. Berdisiplin yang pernah dilakukan ketiak menjadi murid tida harus berhenti karena sudah menjadi guru. Rendahnya hasil test kompntensi guru madrasah tidak perlu disikapi secara emosional sehingga berusaha mencari data dan usaha untuk menujukan hasil test tersebut tidak benar. Sikap enggan bertanya ( Gengsi ) dan pandangan bertanya adalah bodoh, bertanya berarti mengakui kebenaran hasil test komptensi harus dibuang jauh-jauh. Sebagai guru tentu sadar bahwa apabila ada murid yang bertanya kita justeru memberi pujian bahkan mengakui bahwa yang bertanya berarti ada upaya untuk memahami.

Filosofi bahwa bekerja ( mengajar ) untuk menghalalkan gaji yang diterima, harus diganti dengan bekerja untuk melayani memuaskan masyarakat. Bagaimana mungkin halal kalau murid tidak puas, orang tua tidak nyaman, dan masyarakat tidak percaya bahwa kita dapat mendidik. Jangankan sampai toyyib, halalpun masih dipertanyakan !

2. Mulai dari yang kecil

Wacana yang berkembang akhir-akhir ini adalah "Sekolah sebenarnya bukan hanya sekedar lulus atau tidak lulus ", namun harus dapat menunjukan mana yang baik mana yang jelek, mana adil dan mana yang dzalim, mana yang benar dan mana yang salah. Menumpuknya pengangguran intelektual sebenarnya bermula dari dibukanya kran kelulusan yang selebar - lebarnya. Pertimbangan kompetensi dan budi pekerti nyaris nihil, sehingga walaupun akhlak dan moralnya jelek jika angka (kemampuan kognitif) norma kelulusannya terpenuhi maka luluslah dia. Oleh karena itu dalam mengantisipasi dampak negatif globalisasi dunia, sangat dinantikan Islamic School dengan standard kedisiplinan yang mampu mengubah perilaku jelak menjadi baik sesuai dengan " Caracter Building ", yakni sopan-santun, disipilin, semangat dan kerja keras, jujur dan tanggung jawab. Sekolah dengan kurikulum yang dijiwai " Caracter Building ", akan menjadi sekolah yang dapat menjawab kebutuhan jaman dan dapat memberi rasa aman. Tertib dan disipiln hanya membutuhkan waktu yang sedikit tetapi mempunyai dampak yang sangat luar biasa.

3. Mulai dari sekarang

Orang bilang untuk memulai itu sulit, tetapi lebih sulit lagi kalau kita tidak pernah memulai. Mereformasi MTsN/MAN sebagai Islamic School tidak perlu ditunda-tunda mulailah dari sekarang juga. Para guru DEPAG yang sekaligus menjadi penceramah agama adalah posisi strategis untuk menjadi bintang iklan (juru kampanye) dalam kebesaran Islamic School tingkat SMP/SMA ( MTsN/MAN)

Kepada masyrakat percayalah bahwa di dalam MTsN/MAN (Islamic School tingkat SMP dan SMA )putra - putri Indonesia akan mendapat pendidikan yang dapat memberi rasa aman dan nyaman.

Penulis: Darto, Spd
Saya Guru di MTsN Babadan Baru Sleman
sumber: pendidikan.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar