Kamis, 28 Mei 2009

RUU BHP - Usulan Pemisahan BHP Pendidikan Tinggi

Senayan (STMIK-MJ): Komisi X DPR RI digelar Rapat Panja RUU BHP yang kedua dari empat belas kali rapat panja, 16 Januari 2008. Rapat tertutup ini membahas tentang hasil uji publik RUU BHP di 10 propinsi di Indonesia. Termasuk juga membahas draft usulan terakhir dari Pemerintah tentang RUU BHP.

Dari pihak DPR hadir 17 orang dari 23 anggota Panja Komisi X DPR RI dan dari pihak Pemerintah, Tim Panja Pemerintah, diantaranya Dirjen Pendidikan Tinggi, Dr. Fasli Jalal, Ph.D; Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Suyanto, Ph.D; dan Prof. Dr.Mansyur Ramly, Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas.

Dalam rapat yang dipimpin oleh Heri Akhmadi, Wakil Ketua Komisi X DPR RI berkembang beberapa isu yang krusial disampaikan oleh fraksi-fraksi. Ada tiga hal yaitu usulan untuk memecah RUU BHP antara BHP Pendidikan Tinggi dan BHP Pendidikan Dasar dan Menengah; pencantuman kata ‘dapat’ dalam pasal lima ayat (2); memikirkan ulang pencantuman klausul numeric, seperti 2/3 (pada pasal 34 ayat (3) pada RUU BHP versi 5 Desember 2007) dan 20 persen (pasal 38 ayat (1) RUU BHP versi 5 Desember 2007 dan pasal 36 ayat (1) versi Panja Pemerintah setelah melihat hasil uji publik RUU BHP).

Usulan pemisahan Undang-Undang BHP, pertama sekali disampaikan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dengan juru bicara H. Daromi Irjas, SH. “Kami menyampaikan dengan kalimat terang bahwa fraksi PPP DPR RI memilih opsi keempat, yakni penataan badan hukum pendidikan perlu dilakukan dalam dua hal undang-undang. Pertama undang-undang badan hukum Pendidikan untuk Pendidikan Tinggi; kedua, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah’.

Menurut Fraksi PPP alasan pemisahan ini adalah pertimbangan ketidaksiapan lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah. Dinilai oleh PPP mereka belum professional; belum mampu menerapkan otonomi pendidikan sepenuhnya. Sementara perguruan tinggi sangat siap untuk itu, karena mereka memiliki budaya akademis dan ilmiah. Usulan PPP ini didukung oleh beberapa Fraksi, seperti PAN; PKB dan PDS.

Bagi fraksi yang mendukung pemisahan ini memandang bahwa yang membutuhkan Undang-Undang BHP segera adalah pendidikan tinggi, oleh karenanya RUU BHP Pendidikan Tinggi yang mendesak untuk disahkan menjadi undang-undang.

Dirjen Dikti, Fasli Jalal dalam tanggapannya dari pihak pemerintah mengatakan “kita” harus konsisten dengan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) yang menjadi landasan perlunya dibuat Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Di dalamnya dijelaskan bahwa tidak ada pembedaan antara pendidikan tinggi dan pendidikan dasar dan menengah. Dirjen menyebutkan secara lengkap bunyi pasal 53 itu “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”.

"Jangan sampai karena perbedaan pendapat pada satu atau dua pasal saja; atau karena kata 'dapat’; atau karena faktor undang-undang yayasan lantas kita membuat pemisahan Undang-Undang BHP. Karena akan melelahkan. Padahal RUU BHP ini telah mengalami perjalanan panjang dan sekarang hampir mau mengerucut pada kesepakatan. Untuk penyelenggara dan Satuan pendidikan yang belum bisa mengadopsi BHP secara keseluruhan, kita perpanjang saja waktu penyesuaiannya, misalnya," kata Fasli.

Pihak panja pemerintah mengusulkan dalam pasal 5 ayat (2) “untuk satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang didirikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dapat berbentuk badan hukum pendidikan. Pencantuman kata dapat pada pasal dan ayat tersebut lebih moderat daripada memisahkan undang-undang BHP yang sudah berpayah-payah dibangun.

Fraksi PDIP, Golkar dan Demokrat mendukung usulan pemerintah ini. “fraksi PDI Perjuangan sepakat dengan pemerintah dan fraksi-fraksi untuk mencantumkan kata dapat pada frase berbentuk badan hukum pendidikan pada satuan pendidikan dasar dan menengah (pasal 5 ayat (2)..”.

Akan tetapi dengan mencantumkan kata dapat ini bagi Golkar bermakna penyelenggara dan atau satuan pendidian dasar dan menengah tidak diharuskan menjadi BHP..bila tidak BerBHP, maka perlu difikirkan bentuk badan hukum apa yang digunakan.

Sementara itu, menurut Fraksi Demokrat dan PKS draft terakhir dari panja pemerintah ini, pada pasal 5 masih ada ketidakadilan, terutama antara ayat (2) dan ayat (4). "Komunitas penyelenggara pendidikan TK dan Pendidikan dasar keberatan jika diwajibkan berbadan hukum, sementara itu milik pemerintah tidak wajib alias dapat. Karena itu untuk komprominya maka pasal 5 ayat (4) ditambah dengan kata dapat juga, sehingga berbunyi: penyelenggara pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang didirakan oleh masyarakat dapat berbentuk badan hukum pendidikan”.

Umumnya fraksi meminta agar pasal yang ayat-ayatnya ada klausul numeric difikirkan lagi, karena anggaran pendidikan dua pulu persen saja (seperti tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945) belum terpenuhi. Misalnya pada pasal 36 ayat (1) tentang alokai beasiswa paling sedikit 20 % bagi warga Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi.

Sementara itu pasal 34 ayat (2 dan 3) seperti terdapat pada RUU BHP 5 Desember 2007 kalimat dua pertiga biaya pendidikan, dalam draft usulan terakhir Panja Pemerintah, 24 Januari 2008 sudah ditiadakan.

Akhirnya sidang RUU BHP pada sore itu menyepakati untuk membahas isu ini lebih dalam dan lebih informal dalam Semiloka terbatas pada Kamis, 21 Februari 2008, antara panja RUU BHP Komisi X dan Panja Pemerintah.

Diharapkan juga pada pemerintah melakukan koordinasi dan harmonisasi antar departemen seperti Departemen Hukum dan HAM; Departemen Keuangan; Departemen Agama; Departemen Perdagangan; Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Bappenas.

Sumber: http://www.stmikmj.ac.id/berita/stmik-mj/55-ruu-bhp-usulan-pemisahan-bhp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar